Minggu, 20 Maret 2016

Keharmonisan antara umat beragama

Keharmonisan antara umat beragama yang ditunjukan oleh masyarakat Solo dalam dua perayaaan besar agama


Hari besar keagamaan diperingati berdasarkan pergerakan bumi/bulan/matahari maupun adanya peristiwa yang dipercaya memiliki nilai spiritual/kesakralan tertentu untuk meningkatkan kualitas prilaku sehari-hari. Memaknai hari raya keagamaan kita berusaha menekan angka-angka negatif dalam kehidupan sehari-hari. Merayakan hari besar agama harus dilihat sejauh mana hari besar itu didayagunakan untuk membesarkan kekuatan spiritual dalam diri setiap umat. Persoalan akan menjadi terbalik apa bila hari besar agama itu dijadikan momentum untuk membesarkan gejolak hawa nafsu dan egoisme keagamaan. Dalam kemajuan zaman ini, hal ini semestinya menjadi perhatian kita bersama. Kalau benar hari besar keagamaan menjadi suatu momentum untuk membesarkan kekuatan spiritual maka aparat keamanan justru pada hari besar keagamaan akan berkerja secara santai. Karena kekuatan spiritual agama yang besar dalam diri manusia akan mengekspresikan prilaku mulia dan daya tahan mental yang tangguh.

Seperti harmonisnya perayaan hari besar dua keagaamaan yang terjadi disolo saat  tahun lalu, Umat Islam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 24 Desember 2015 dan umat kristiani merayakan Natal pada 25 Desember 2015. Keduanya sama-sama merayakan hari kelahiran figur paling penting bagi masing-masing agama. Maulid Nabi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W dan Natal merayakan hari kelahiran Yesus Kristus (Isa Al-Masih).

Peristiwa yang jarang terjadi ini membuat Kota Solo dimeriahkan dengan suasana khas Sekaten dan khas Natal secara berdampingan. Inilah wujud nyata toleransi antarumat beragama yang belakangan ini di banyak tempat mulai memudar. Hal yang patut disyukuri adalah tindakan intoleransi minim terjadi di Kota Solo sepanjang tahun 2015.

Hal ini menjadi peristiwa istimewa karena kota Solo terkenal rentan dengan tindakan intoleransi khususnya menyangkut etnis dan agama mengingat ada tiga etnis besar hidup berdampingan di Solo, yakni Jawa, keturunan Arab, dan keturunan Tionghoa.

Kita mengenal perayaan sekatenan di bekas kerajaan Mataram, yaitu Solo dan Jogja. Perayaan Sekaten adalah merupakan hajatan Sunan Paku Buwono di Solo dan Sultan Hamengku Buwono di Jogya, yaitu diselenggarakan mulai seminggu sebelum Maulud Nabi Muhammad s.a.w. Kraton mengeluarkan 2 perangkat Gamelan Kraton (di Solo : Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu), untuk dibawa ke halaman Mesjid Agung Kraton. Di halaman Masjid tersedia 2 bangunan disisi utara dan selatan, tempat kedua perangkat gamelan itu akan ditempatkan dan ditabuh bergantian selama 1 minggu, dari pagi hingga tengah malam, dengan berhenti pada saat tiba waktu Sholat wajib, yaitu Dhuhur, Azar, Maghrib dan Isa'. Sekaten berakhir ketika Hari Maulud Nabi tiba.

Selain itu perayaan natal juga berjalan dengam aman dan tertip diberbagai gereja yang ada di kota Solo. Merawat persamaan adalah hal biasa. Tetapi beda halnya dengan merawat perbedaan, itu akan menjadi sebuah hal luar biasa. 

Contoh lain adanya keharmonisan antara umar beragama yang dimiliki masyarakat Solo adalah berdampingannya sebuah masjid dan sebuah gereja. Masjid Al Hikmah memang beda dengan yang lainnya. Secara lokasi, masjid bercat hijau itu tempat berbagi tembok dengan tempat ibadah jemaat Kristen, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan, yang sama-sama beralamat di Jalan Gatot Subroto 222, Solo. 

Toleransi juga dilakukan oleh pihak GKJ Joyodiningratan. Pihak gereja menyadari bahwa 24 Desember merupakan hari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Jemaat sudah siap menggelar ibadat malam Natal di tempat lain. 

"Karena kita tahu tanggal 24 itu Maulid Nabi dan biasanya ada pengajian, maka awalnya kita sempat memunculkan alternatif lain untuk ibadat malam Natal. Kita rencana akan menggelar ibadah malam Natal dengan menyewa gedung atau mencari waktu yang lain," ungkap Pendeta GKJ Joyodiningratan, Nunung Istining Hyang.  

Lantas, pada 25 Desember 2015 yang bertepatan dengan salat Jumat, pihak gereja memutuskan ibadah Natal akan selesai pada pukul 10.00 WIB. Biasanya untuk masalah seperti itu sudah dibicaaarakan jauh-jauh hari, sejak 3 bulan lalu. Dan untuk permasalahan parkir sudah diatur warga dan jemaah masjid. Seperti biasa, nanti parkir jemaat gereja sampai ke halaman depan masjid. GKJ Joyodiningratan sendiri menggelar dua ibadah Natal, yakni Kamis, 24 Desember pukul 18.00 WIB. Sementara pada 25 Desember, ibadah Natal akan digelar pada pukul 08.00 WIB.

Harmonisasi dua agama di wilayah ini memang sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Melongok sejarahnya, gereja ini lebih awal dibangun pada 1939. Lantas pada 1947, tepat di sampingnya dibangun musala yang kemudian berubah menjadi masijd.

Mulai saat itulah, kerukunan agama terjalin. Sebagai simbolnya, perwakilan umat Islam dan Kristen membangun prasasti Tugu Lilin sebagai simbol kebersamaan. Prasasti itu sendiri memiliki tinggi 100 meter. Posisinya terletak di sebelah selatan masjid, tempat wudu perempuan.